Kurangnya Respons Kelurahan Dinilai Hambat Program Budidaya Maggot dan Pengelolaan Sampah di Serua

Supiyadi Ahmad
PT. MEDIA DAPUR REMAJA - Informasi Iklan dan Media Partner: 081290802946
Program budidaya maggot yang digadang-gadang sebagai solusi pengurangan sampah organik di Kelurahan Serua, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, kini berada di ujung tanduk.

‎Dataradio.id| Serua

‎Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Gelora Buana, Kelurahan Serua, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, menyesalkan minimnya respons pihak kelurahan terhadap keberlanjutan program budidaya maggot dan pengelolaan sampah berbasis Tempat Penampungan Sementara (TPS).

‎Menurutnya, Program budidaya maggot yang digadang-gadang sebagai solusi pengurangan sampah organik di Kelurahan Serua, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, kini berada di ujung tanduk. Minimnya respons dan absennya solusi konkret dari pihak kelurahan, khususnya terkait penyediaan Tempat Penampungan Sementara (TPS), membuat program tersebut terancam berhenti di tengah jalan.

‎“Sejak awal kami sudah mengikuti pelatihan dari kelurahan terkait pemilahan sampah dan budidaya maggot. Tapi dalam pelaksanaannya, sampai sekarang tidak ada solusi terkait lokasi TPS. Padahal, pemilahan sampah tidak mungkin dilakukan di atas mobil,” ujar Ketua Pokmas Gelora Buana Refnaldi, pada Kamis (18/12/2025).

‎Refnaldi menjelaskan, saat ini lokasi budidaya maggot tidak memiliki TPS resmi. Akibatnya, pemilahan sampah organik dan anorganik menjadi tidak optimal. Sampah residu yang seharusnya diangkut oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) juga kerap tidak mendapat respons, sehingga pihaknya terpaksa menggunakan jasa pengangkutan swasta dengan biaya operasional yang cukup besar.

‎“DLHK tidak merespons pengangkutan dari lokasi maggot, akhirnya kami pakai pihak swasta. Padahal biaya operasional kami terbatas. Kami tidak bisa memilah sampah di atas mobil, kami butuh TPS,” tegasnya.

‎Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa keputusan larangan penggunaan lahan yang sebelumnya difungsikan sebaga tempat budidaya magot dan TPS dilakukan secara mendadak tanpa disertai solusi pengganti dari kelurahan. Hal tersebut berdampak langsung pada keberlangsungan program.

‎“Kesepakatan lurah memutuskan lokasi itu tidak boleh lagi dijadikan TPS. Keputusan ini mendadak dan sifatnya penghentian sepihak. Sampai sekarang tidak ada solusi yang diberikan,” katanya.

‎Kondisi tersebut juga berimbas pada budidaya maggot. Keterbatasan pasokan sampah organik sebagai pakan membuat produksi maggot menurun drastis. Bahkan, sebagian maggot terpaksa dijual lebih awal dan saat ini hanya tersisa telur yang sedang dalam masa penetasan.

‎“Program maggot ini justru bertujuan mengurangi sampah organik. Tapi sekarang kami kesulitan mendapatkan pakan. Ironisnya, maggot sampai mengalami kekurangan gizi karena kurang pasokan,” ungkapnya.

‎Dari sisi anggaran, ia memaparkan bahwa dana program pemerintah yang diterima sebagian besar dialokasikan untuk honor dan pengadaan fasilitas. Namun, anggaran tersebut tidak disertai dukungan operasional yang memadai, seperti kendaraan, biaya angkut rutin, maupun kepastian TPS.

‎“Honor hanya untuk tiga orang selama delapan bulan. Tidak ada anggaran operasional. Padahal program ini butuh dukungan berkelanjutan, bukan hanya pelatihan dan pembagian ember,” jelasnya.

‎Ia berharap, pemerintah kelurahan dan pihak terkait dapat segera duduk bersama untuk mencari solusi konkret, khususnya penyediaan TPS yang layak.

‎“Kalau dari awal ada koordinasi dan solusi, program ini bisa berjalan optimal. Sampah terkelola, maggot berkembang, dan lingkungan bersih. Tapi sekarang kami seperti dibiarkan berjalan sendiri,” pungkasnya.(nez)

‎‎

Quick Link

TAGGED:
Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses